Thursday 1 December 2016

Rupanya cinta tak sesederhana itu

Jakarta, 30 November 2016
Kutuliskan ini untuknya...

Tak ada yang bisa menghentikanya untuk tetap terbang meskipun sayapnya telah patah dan terluka terbangnya tidak tinggi memang, bahkan ia terbang rendah sangat rendah hampir menyentuh tanah.  Tapi, tak pernah menyurutkanya untuk menyerah begitu saja. Keadaan telah memaksanya untuk meninggalkan rumah. Tapi, itu dulu sekarang ia telah berdamai dan lebih tenang hidup di tanah rantau. Jika bisa, tidak ada lagi kata pulang karena ia merasa itu bukan lagi rumah baginya. Segala hal yang telah menyakitkan dimasa lalu ia bungkus sebagai bekal perjalanan dalam perantauan, setiap kali ia lapar dan menyerah bekal itulah sebagai asupan kekuatanya. Karena apapun, hidup harus tetap berjalan. Kini ia telah berada di tengah lautan dengan jutaan manusia lainya, ia berbaur menutupi lukanya setebal mungkin agar tak ada siapapun yang dapat melihat tetesan darahnya. Menutup luka yang masih menganga memang menyakitkan tapi tak mengapa karena hidup harus tetap berjalan. Perlahan tapi pasti aku melihatnya ia sudah bisa terbang dengan gagahnya tak perduli sayapnya yg patah dan terluka. Terbanglah temukan cinta, bahagia dan tenangmu tapi memang tak sesederhana itu harus ada penerimaan, kesyukuran dan tafakur yang tak pernah habis tersapu angin. kita tidak bisa dengan cuma - cuma mendapatkanya tentu semua kewajiban harus ia tunaikan dengan baik.
Rupanya cinta tak sesederhana itu.

Selangkah ia menemukan jalannya sendiri, meskipun tak sama tapi cinta mampu membuat kepakan sayapnya terbang semakin tinggi, ringan tak terasa bahwa sebenarnya masih ada luka yang berangsur pulih, ia telah mengenalnya 1,096 hari sampai dengan hari ini saat aku menuliskan ini untuknya. Terbang menjelajahi cakrawala bersamanya itupun bukan tanpa halangan terkadang ranting dan daun bahkan badai hampir menggoyahkan ritme terbangnya. terseok- seok hampir jatuh bahkan seketika hilang kepercayaan. Namun, ia paham bahwa janji adalah janji sekecil apapun ia memiliki kehormatan. pertemuan itu bukan tanpa alasan justru Allah merancangnya dengan sangat indah, hampir tidak percaya namun takdir telah terurai. keputusannya adalah benar, janji yang harus ditunaikan meski cinta menggenggamnya begitu sangat erat. Mungkin filosofi pasir itu tidak salah tapi aku memaknainya dengan teori baru bahwa saat pasir di genggam dengan sangat erat ia tak akan meninggalkan kepalannya, ia akan tetap tinggal hanya saja kemilaunya telah mati dalam genggaman . Mungkin ini terlihat klise dan munafik karena jika mau ia bisa saja  mengubah dirinya menjadi angin pamit tak telihat. Entah apa yang ada dibenaknya akupun sulit untuk mengurainya, melihat matanya masih ada cinta yang dalam disana. aku menjadi saksi bisunya aku memandangnya dengan tatapan nanar burung itu kembali terluka namun cinta tak perduli karena luka ini jelas tak terlihat.
Aku menjadi saksi bisunya, pada suatu waktu nada putus asa terdengar lirih, ringkih memekikan telinga saat ia meronta ingin pergi tapi tak sanggup hanya karena ia terlalu takut untuk meraskan hal yang lebih sakit daripada ini dan lagi - lagi ia tak ingin melukai yang lain hingga ia rela melukai dirinya sendiri.
Rupanya cintapun tak sesederhana itu.
Saat engkau mengira bahwa cinta sesederhana perkalian dua? ia jelas tidak pernah mengiranya karena ia tahu, cinta tak pernah jadi mudah ketika ia menghitungnya. Dan saat engkau melihat seseorang yang amat tegar menghadapi kehidupan, maka engkau tidak tahu seberapa besar perjuangannya untuk membujuk dirinya sendiri sabar, melepaskan, melupakan, dan semua hal yang ringan dikatakan, tapi berat dilakukan. Saat engkau menyaksikan seseorang yang amat tabah menjalani cobaan, maka engkau tidak tahu seberapa dalam dan menyakitkan hidupnya. Karena bila bicara tentang penerimaan yang tulus, hanya yang bersangkutanlah yang tahu seberapa ikhlas dia telah berdamai.



0 komentar:

Post a Comment